Meski usia sudah tak lagi muda, banyak kakek dan nenek tetap harus berjuang demi sesuap nasi di tengah getirnya kehidupan. Panas terik dan hujan badai tak menyurutkan langkah mereka untuk mencari rezeki. Tak kenal lelah, mereka merajut hidup dalam sebuah usaha yang ikhlas dan jujur.
Kulit keriput, rambut memutih tak membuat kakek dan nenek menyerah dari kerasnya kehidupan. Seleksi alam mengharuskan mereka terpaksa bekerja di hari tua sebelum ajal menjemput.
Mbah Tumirah misalnya. Nenek usia 109 tahun ini masih harus bekerja menjual kacang kering di stasiun Tugu Yogyakarta. Meski kondisi tubuh sudah tak lagi sehat, Tumirah tetap harus berjualan mencari receh demi menyambung hidup.
"Saya enggak mau merepotkan orang, kalau masih bisa cari makan sendiri ya lebih baik berusaha," katanya.
Rupanya tak hanya Tumirah yang hidupnya tak beruntung seperti kakek nenek lainnya. Banyak orangtua yang sudah dalam kondisi renta faktanya masih harus bekerja demi sesuap nasi.
Mbah Tumirah (109) warga Sosrowijayan, Gedongtengen, Kota Yogyakarta tidak seperti nenek-nenek pada umurnya yang bisa menikmati hari tuanya. Mbah Tumirah dengan kondisi tubuhnya yang semakin melemah masih terus berjuang demi sesuap nasi.
"Saya enggak mau merepotkan orang, kalau masih bisa cari makan sendiri ya lebih baik berusaha," katanya saat ditemui, Sabtu (16/5) siang.
Satu jam berlalu, belum ada satu pun pembeli yang menyambanginya. Para pengunjung stasiun berlalu-lalang begitu saja tanpa memperhatikannya.
"Memang susah, jarang ada yang beli kalau jam segini, lima ratus rupiah pun belum ada ini," ujarnya.
Berjualan kacang kering sudah dijalaninya sejak setahun ini. Sebenarnya sudah dilarang oleh cucunya, namun dia bersikeras berjualan daripada di rumah tidak ada kegiatan dan hanya membuat susah cucunya.
Kacang kering yang dijualnya pun hasil olahan sendiri. Bermodal tungku arang dan wajan besar, dia memulai usaha jualan kacang kering.
"Kacangnya ini diantar dari Temanggung, masih mentah itu. Di sini saya masak, pakai anglo (tungku), wajan diisi pasir, terus kacangnya digongso," terangnya.
Pagi sekitar pukul 06.00 WIB, dia dibantu cucu dan cicitnya mulai memasak kacang kering. Siang harinya dia mulai membungkus kacang-kacang dalam plastik lalu diikat dengan karet gelang.
"Sebungkusnya Rp 5.000, kalau beli banyak ya saya beri bonus, kalau magrib pulang, berapa pun yang laku," tuturnya.
Penghasilannya pun tak menentu. Apalagi jika sedang sepi, kadang kacangnya hanya terjual beberapa bungkus saja. Meski demikian dia mengaku tetap bersyukur, sebab dia beranggapan setiap rejeki yang diberikan Allah akan selalu mendatangkan berkah.
"Sehari dapatnya berapa? Ya cukup untuk makan, kalau kurang dicukup-cukupkan. Ngucap syukur, berapa saja yang laku itu rejeki dari Allah," ungkapnya.
Kulit keriput, rambut memutih tak membuat kakek dan nenek menyerah dari kerasnya kehidupan. Seleksi alam mengharuskan mereka terpaksa bekerja di hari tua sebelum ajal menjemput.
Mbah Tumirah misalnya. Nenek usia 109 tahun ini masih harus bekerja menjual kacang kering di stasiun Tugu Yogyakarta. Meski kondisi tubuh sudah tak lagi sehat, Tumirah tetap harus berjualan mencari receh demi menyambung hidup.
"Saya enggak mau merepotkan orang, kalau masih bisa cari makan sendiri ya lebih baik berusaha," katanya.
Rupanya tak hanya Tumirah yang hidupnya tak beruntung seperti kakek nenek lainnya. Banyak orangtua yang sudah dalam kondisi renta faktanya masih harus bekerja demi sesuap nasi.
Mbah Tumirah (109) warga Sosrowijayan, Gedongtengen, Kota Yogyakarta tidak seperti nenek-nenek pada umurnya yang bisa menikmati hari tuanya. Mbah Tumirah dengan kondisi tubuhnya yang semakin melemah masih terus berjuang demi sesuap nasi.
"Saya enggak mau merepotkan orang, kalau masih bisa cari makan sendiri ya lebih baik berusaha," katanya saat ditemui, Sabtu (16/5) siang.
Satu jam berlalu, belum ada satu pun pembeli yang menyambanginya. Para pengunjung stasiun berlalu-lalang begitu saja tanpa memperhatikannya.
"Memang susah, jarang ada yang beli kalau jam segini, lima ratus rupiah pun belum ada ini," ujarnya.
Berjualan kacang kering sudah dijalaninya sejak setahun ini. Sebenarnya sudah dilarang oleh cucunya, namun dia bersikeras berjualan daripada di rumah tidak ada kegiatan dan hanya membuat susah cucunya.
Kacang kering yang dijualnya pun hasil olahan sendiri. Bermodal tungku arang dan wajan besar, dia memulai usaha jualan kacang kering.
"Kacangnya ini diantar dari Temanggung, masih mentah itu. Di sini saya masak, pakai anglo (tungku), wajan diisi pasir, terus kacangnya digongso," terangnya.
Pagi sekitar pukul 06.00 WIB, dia dibantu cucu dan cicitnya mulai memasak kacang kering. Siang harinya dia mulai membungkus kacang-kacang dalam plastik lalu diikat dengan karet gelang.
"Sebungkusnya Rp 5.000, kalau beli banyak ya saya beri bonus, kalau magrib pulang, berapa pun yang laku," tuturnya.
Penghasilannya pun tak menentu. Apalagi jika sedang sepi, kadang kacangnya hanya terjual beberapa bungkus saja. Meski demikian dia mengaku tetap bersyukur, sebab dia beranggapan setiap rejeki yang diberikan Allah akan selalu mendatangkan berkah.
"Sehari dapatnya berapa? Ya cukup untuk makan, kalau kurang dicukup-cukupkan. Ngucap syukur, berapa saja yang laku itu rejeki dari Allah," ungkapnya.
Sumber :
satucerita.com