Riba, secara garis besar dikategorikan menjadi dua; riba dalam hutang-piutang dan riba dalam jual beli. Jenis pertama terbagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun dalam jual beli ada riba nasi'ah dan riba fadhi. Sebagian ulama menjelaskan kategori yang berbeda, tetapi para ulama sepakat mengharamkan segala jenis riba. (al-Mulakshash fil fiqhi: II/28).
Riba tetap haram meski tidak berlipat ganda. Di dalam surat Ali Imran ayat 130 memang disebutkan bahwa kita dilarang memakan riba yang berlipat ganda (adh'afan mudha'afah). Namun ayat yang mengharamkan riba tidak hanya ini. Ada beberapa ayat lain yang menjelaskan haramnya riba diantaranya; surat ar-Ruum (39), an-Nisa (160-161), dan al-Baqarah (278-279).
Dilihat dari masa turunnya, ayat 130 surat Ali Imran turun pada tahun ketiga Hijrah. Adapaun yang terakhir turun adalah ayat 278-279 surat al-Baqarah yang mengharamkan segala jenis riba.
Secara logis, memahami surat Ali Imran (130) dengan mafhum mukhalafah atau logika terbalik bahwa jika berlipat ganda dan memberatkan berarti haram, adapun jika tidak berarti boleh, juga tidak tepat. Dalam prakteknya, tidak ada yang menerapkan prosentase bunga hingga 100%. Padahal "lipat ganda" menurut kaidah bahasa Arab adalah 2 kali lebih besar dari semula. Lebih dari itu, "adh'af" adalah bentuk jamak. Jamak adalah nilai bilangan benda yang lebih dari tiga, jadi 3x2=6 atau 600%. Jika mau dipahami dengan logika terbalik, maka riba haram jika mencapai 600%, jika kurang dari itu tidak haram.
Asas saling rela juga bukan faktor diharamkannya riba. Meskipun dilakukan atas dasar saling rela, riba tetaplah haram. Alasannya, ayat-ayat yang melarang riba mengharamkan riba tanpa ada penjelasan karena riba merupakan kezaliman. Jadi, yang diharamkan adalah penambahan kadar baik waktu maupun nominal, dalam jual beli maupun hutang-piutang.
Meski dilakukan atas dasar kerelaan dari kedua belah pihak, penambahan tersebut hukumnya haram. Seperti halnya zina yang tetap haram meski dilakukan atas dasar suka sama suka. Atau mencuri yang tetap dinilai tercela meskipun kemudian sang pemilik merelakan barang yang dicuri. Wallahua'alam
[ar-risalah: Edisi 161]